Showing posts with label BERITA DAERAH. Show all posts
Showing posts with label BERITA DAERAH. Show all posts

DIKLATSAR SURVIVAL DAN NAVRAD BATAGUH

 

Kuala Kapuas_ Kwartir Ranting Bataguh menggelar kegiatan pelatihan Dasar Survival dan Navigasi Darat yang diikuti oleh anggota Pramuka Penegak Pandega dan Pembina. Peserta  bukan hanya wilayah Kapuas saja tetapi ada juga Pulang Pisau serta dari Kalimantan Selatan . Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 17-19 Januari 2025, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan peserta dalam bertahan hidup di alam dan navigasi darat serta mengenal situs Sejarah Nyai Undang yang ada di Bataguh “ucap Ka Sugi” selaku Ketua Kwaran Bataguh

Pelatihan dimulai dengan pengenalan teori tentang teknik survival, termasuk cara membuat membuat kompor lapangan, tanaman yang bisa dimakan/obat, masak rimba dan membuat bivak. Peserta juga diajarkan tentang penggunaan kompas dan peta untuk navigasi. Kegiatan ini dipimpin oleh instruktur Kak KIPO dari Kota Malang  Jawa Timur yang memberikan penjelasan mendalam serta tips praktis yang berguna saat berada di alam liar, serta materi dari Kodim 1011/KLK tentang materi Kompas ada juga materi dari Kak Yakup dari Palangkaraya tentang survival

Mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk melakukan Hari pertama sesi teori dan bermalam di GOR Mambulau kemudian pada pagi hari melakukan Long March ke Situs Nyai Undang

Perjalanan menuju situs Nyai Undang di Kuta Bataguh bukanlah hal yang mudah. Berbagai tantangan dan medan sulit harus dihadapi oleh para peserta yang ingin menyaksikan langsung jejak sejarah dan legenda yang mengelilingi sosok Nyai Undang, seorang ratu yang dikenal karena kecantikan dan kebijaksanaannya.

Awal Perjalanan

Pagi itu, rombongan kami berkumpul di titik awal perjalanan di sekretariat Kwarran Bataguh, bersemangat untuk menjelajahi kawasan yang kaya akan budaya dan sejarah. Peserta dan Panitia memulai perjalanan dengan berjalan kaki , melintasi jalanan yang berliku dan menanjak menuju Kuta Bataguh. Di sepanjang perjalanan, pemandangan alam Kalimantan Tengah yang memukau menjadi teman setia, namun jalanan yang rusak dan berbatu membuat perjalanan terasa menantang.

Medan Sulit

Setelah beberapa jamperjalaanan, peserta tiba di area hutan yang harus dilalui dengan berjalan kaki. Medan becek, air dalam dan licin akibat hujan membuat langkah kami harus lebih hati-hati. Beberapa anggota rombongan terjatuh, tetapi semangat untuk mencapai situs Nyai Undang tetap membara. Peserta saling membantu satu sama lain, mengulurkan tangan untuk membantu rekan-rekan yang kesulitan.

Di tengah perjalanan, pesert berhenti sejenak untuk beristirahat. Di sinilah para mendengar cerita-cerita dari penduduk lokal tentang Nyai Undang—bagaimana dia memimpin rakyatnya dengan adil dan bijaksana, serta pertempuran melawan Raja Sawang yang terkenal. Kisah-kisah ini semakin membakar rasa ingin tahu kami tentang situs yang akan kami kunjungi.

Menyusuri Jejak Sejarah

Setelah melewati hutan lebat dan medan terjal, akhirnya kami tiba di situs Nyai Undang. Di sana terdapat sisa-sisa bangunan tua dan kayu ulin yang menjadi saksi bisu perjuangan ratu tersebut. Peserta mengamati setiap detail sambil membayangkan bagaimana kehidupan di masa lalu.

Perjalanan pulang terasa lebih ringan meski tubuh sudah lelah. Peserta membawa pulang bukan hanya kenangan indah tetapi juga pengetahuan baru tentang sejarah dan budaya Kalimantan Tengah. Pengalaman ini mengajarkan kami arti ketekunan dan kerja sama dalam menghadapi tantangan.

Kunjungan ke situs Nyai Undang bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang menghubungkan kami dengan warisan budaya nenek moyang.

Setelah selesai dari situs Nyai Undang peserta berpindah lapangan tembak Kodim 1011/KLK yang bawa oleh armada Kemensos. Peserta mendirikan tenda dan malam harinya sesi teori, peserta langsung melakukan praktik di lapangan. simulasi pembuatan api dan jebakan makanan. Meskipun beberapa peserta mengalami kesulitan pada percobaan pertama, mereka berhasil memperbaiki teknik mereka setelah mendapatkan bimbingan dari instruktur.

Kegiatan ini tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis, tetapi juga menekankan pentingnya kerja sama tim dan komunikasi antar anggota kelompok. Di akhir pelatihan, semua peserta berhasil menunjukkan peningkatan kemampuan dalam teknik survival dan navigasi.

Kwartir Ranting Bataguh berharap melalui kegiatan ini, para anggotanya dapat lebih siap menghadapi situasi darurat di alam bebas serta meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian mereka. Kegiatan ditutup dengan evaluasi dan diskusi mengenai pengalaman yang didapat selama pelatihan.

 

Jurnalis : Satria_Kps

#1515 (Indonesia Scout Journalist)










Sejarah Puteri Mayang Sari Part 1

MAQAM PUTRI BANJAR DI TANAH DAYAK  (PUTRI MAYANG SARI BINTI SULTAN SURIANSYAH )

Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banjar itu, memang agak tersembunyi di balik rimbunan pohon karet yang tumbuh subur. Kalau kita bepergian dari Banjarmasin ke Tamiang Layang dan melintasi Desa Jaar, bangunan itu tidak tampak dari jalan raya. Sebuah bangunan sekolah dasar akan menghalangi pandangan kita. Menurut tetuha adat di Desa Jaar, di dalam bangunan berbentuk rumah adat Banjar itu terdapat pusara Putri Mayang Sari. Ia adalah putri Sultan Banjar yang pernah menjadi pemimpin di Tanah Dayak Ma'anyan. Karena itu bagi orang Dayak  Maanyan, bangunan unik itu mempunyai arti dan makna tersendiri.

 Tulisan ini bertujuan memaparkan hubungan antara Urang Banjar dan Urang Ma'anyan yang bersumber dari tradisi lisan. Dalam mengumpulkan data untuk bahan tulisan ini, saya (Pdt. DR. Marko Mahin, MA.) dibantu Pdt.Hadi Saputra Miter, S.Th putra Dayak Ma'anyan asal Tamiang Layang, alumnus STT-GKE Banjarmasin.

Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma'anyan, Mayang Sari yang adalah putri Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi (Martapura) pada 13 Juni 1885, yang dalam penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mamma'i. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma'anyan adalah perempuan Ma'anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma'anyan.

Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma'anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin'nyan yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Suriansyah terkena denda Adat Bali, yaitu selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.

Setelah Uria Mapas meninggal dunia, penduduk setempat mengangkat Putri Mayang  Sari untuk memimpin daerah Sangarasi yang sekarang bernama Ja'ar --lima kilometer dari Tamiang Layang. Kepemimpinan Mayang Sari sangat diakui masyarakat setempat, karena selain putri dari seorang Sultan Banjar, ia adalah saudara angkat Uria Mapas Negara. Dalam tradisi Dayak Ma'anyan, Putri Mayang Sari dicitrakan sebagai perempuan berambut panjang dan berparas cantik. Namun bukan hanya kecantikan yang mempesona dimilikinya, tetapi kemampuan menyejahterakan rakyat di wilayah yang dipimpinnya. Dituturkan, pada masa hidupnya Putri Mayang Sari tidak pernah diam. Ia rajin mengadakan kunjungan ke desa untuk mengetahui kehidupan rakyat yang sebenarnya, dan secara khusus untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan masyarakat. Ia selalu mengawasi bagaimana hasil panen masyarakat. Untuk meningkatkan hasil panen, Putri Mayang Sari menganjurkan agar penduduk menanam padi di daerah berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di daerah kering (tegalan).

Rute kunjungan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah melewati daerah Timur yakni Uwei, Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah Barat yaitu Tangkan, Serabun, Beto, Dayu, Patai, Harara dan kembali ke Jaar Sangarasi. Menurut kepercayaan orang Dayak Ma'anyan, daerah atau wilayah yang dikunjungi atau dilewati Putri Mayang Sari itu selalu mendapat berkah-keberuntungan, misalnya pohon buah berbuah lebat. Konon, buah langsat di daerah Tanjung yang terkenal manis dan disenangi banyak orang adalah karena daerah Tanjung adalah tempat singgah Putri Mayang Sari.

Kendati beragama Islam, dalam menjalankan pemerintahannya Putri Mayang Sari menggunakan sistem mantir epat pangulu isa yaitu sistem pemerintahan tradisional Dayak Ma'anyan. Dalam pola kepemimpinan ini, satu wilayah ditangani empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir mengurus masalah pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum Adat. Dalam pemerintahannya memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya kebutuhan pangan rakyat dan tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma'anyan adalah tata aturan kehidupan.


Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober 1615 atau dalam penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan Katiga Paras Kajang Minau, Putri Mayang sari wafat. Karena kecintaan rakyat kepadanya, jasadnya tidak langsung dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah hingga kering. Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke dalam tempayan, jasad Putri Mayang dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat mendapat kesempatan memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah meninggal dunia. Akhirnya, jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi yaitu wilayah Jaar sekarang.

Urang Banjar dan Ma'anyan Tradisi lisan orang Dayak Ma'anyan memang banyak bertutur tentang relasi antara Urang Banjar dan Urang Ma'anyan. Misalnya dituturkan, orang Ma'anyan pada mulanya adalah penghuni Kayu Tangi. Karena itu, orang Ma'anyan, dalam bahasa ritual wadian, menyebut dirinya sebagai anak nanyu hengka Kayu Tangi. Hal itu untuk menunjukkan, sebelum hidup terserak di beberapa wilayah sekarang, mereka tinggal di Kayu Tangi, yaitu wilayah yang sekarang berkembang menjadi Kota Banjarmasin.

Dalam Sejarah Banjar (2003: 36-7) dituliskan, sebelum berdirinya Kesultanan Banjarmasin pada 1526, bahkan sebelum adanya Negara Dipa dan Negara Daha sebagai cikal-bakal Kesultanan Banjarmasin, berdiri satu negara etnik orang Ma'anyan yang bernama Nansarunai. Karena kuatnya usak jawa atau Jawa yang merusak yaitu gempuran dari Majapahit, mereka harus pergi dari Nansarunai.

Juga dituturkan tentang seorang tokoh bernama Labai Lamiah. Konon, ia adalah orang Dayak Ma'anyan pertama yang menjadi muallaf dan mubaligh. Ia berdakwah di wilayah Nagara yang masyarakatnya pada waktu itu adalah campuran antara suku Dayak Ma'anyan dan mantan prajurit Majapahit yang masih memeluk agama Hindu Syiwa. Labai Lamiah berhasil mengislamkan orang-orang Ma'anyan yang ada di Banua Lawas atau sekarang disebut Pasar Arba, tidak jauh dari Kalua. Akibatnya, Balai Adat orang Ma'anyan di tempat itu berubah fungsi menjadi Masjid. Hingga sekarang, di halaman Masjid itu masih dapat ditemukan beberapa guci yang menjadi simbol keberadaan orang Ma'anyan.

Orang Dayak Ma'anyan yang memeluk Islam disebut jari hakey. Pada awalnya, sebutan hakey ditujukan kepada utusan Raja Banjar yang hadir dalam Ijambe (upacara kematian). Ketika mereka dengan sopan menolak memakan daging babi yang dihidangkan dan menjelaskan alasannya, orang Ma'anyan berkata: "O ... hakahiye sa" (o ... begitukah). Berdasarkan ucapan itu, semua orang Banjar, muslim dan orang Dayak Ma'anyan yang beragama Islam disebut hakey. Adanya kaum yang bahakey membuat orang Ma'anyan tidak lagi satu warna. Mereka yang bertahan dengan adat, pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar mencari tempat baru. Dipimpin Uria Napulangit, mereka pergi ke dan menetap di tepi Sungai Siong di sebelah Barat Daya Tamiang Layang sekarang.

Namun rasa persaudaraan mereka dengan kerabat yang bahakey tetap terjalin. Hal itu tampak dengan dibangunnya Balai Adat yang dikhususkan untuk muslim, yang mereka sebut Balai Hakey. Bangunan ini dapat dilihat dalam upacara besar Dayak Ma'anyan seperti Ijambe (upacara pembakaran mayat), khususnya di masyarakat Paju Epat (nama wilayah empat kampung besar). Di Balai itu, masakan yang disajikan harus disembelih secara Islam oleh perwakilan yang beragama Islam.Hingga kini, Balai Hakey tetap didirikan oleh orang Dayak Ma'anyan setiap kali ada Ijambe. Balai yang kokoh, sekokoh sikap toleransi orang Ma'anyan.

Perekat Sosial Hikmat atau kearifan memang ada di mana-mana. Ia berseru di pinggir jalan memanggil orang untuk menghampirinya, demikian kata Penulis Amsal. Ia ada di mana saja termasuk di dalam tradisi lisan. Bagi masyarakat yang belum mengenal budaya tulis-menulis, tradisi lisan merupakan sarana untuk menyimpan sejarah silam kehidupan suku. Lebih dari itu, tradisi lisan juga sarana untuk menguraikan jati diri. Karena itu, dalam upacara penting misalnya Ijambe, tradisi lisan selalu dituturkan.

 Paparan di atas memperlihatkan betapa dahsyatnya Urang Ma'anyan menguraikan jati dirinya ketika berhadapan dengan Urang Banjar. Tentu saja, hal itu dilakukan karena Banjar tidak sekadar identitas suku, tetapi juga identitas politik, sosial, ekonomi dan agama. Banjar sebagai identitas agama tampak dalam adagium 'Banjar berarti Islam dan Islam berarti Banjar'.

Namun bagi orang Ma'anyan, adagium bersosok dingin itu tidak harus dikontestasikan. Tidak perlu jalan merah yang sarat amarah, apalagi pertumpahan darah. Bagi mereka, Banjar adalah hakey yaitu saudara mereka yang memeluk agama Islam. Tradisi lisan telah menjadi referensi kultural mereka untuk bersikap ramah kepada siapa pun, kendati berbeda agama dan keyakinan. Juga menjadi rujukan politik, ketika menerima seseorang yang tidak seagama dengan mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Tradisi lisan telah menjadi sumber kearifan untuk merekatkan persaudaraan dan kekerabatan.

Tradisi lisan memang seumpama teks Kitab Suci, punya daya paksa yang tinggi namun cara kerjanya sangat halus sehingga tidak terasa sama sekali. Hal ini tampak dari berdirinya bangunan rumah adat Banjar yang adalah makam Putri Mayang Sari di Desa Jaar, Tamiang Layang, Kalteng. Mereka mendirikan bangunan itu berdasarkan tradisi lisan Putri Banjar di Tanah Ma'anyan. Lebih jauh lagi, tempat pemakaman Putri Mayang Sari itu baru saja dipugar oleh Pemkab Barito Timur. Ini petanda, sekarang pun beliau masih dihormati masyarakat setempat.

Secara fisik, bangunan itu adalah makam Putri Mayang Sari. Namun secara metafisik, bangunan itu adalah terusan batin persaudaraan yang menghubungkan Urang Dayak Ma'anyan dengan Urang Banjar. Juga menjadi media budaya dan sumber sejarah, di mana mereka dapat merunut benang merah kekerabatan dengan orang Banjar dan kemudian berkata: "Kalian bukan orang lain."

 Sumber tulisan diambil dari catatan Sdr. Hady S. M, S.Th.


SEJARAH PUTRI MAYANG SARI Part 2



MAQAM PUTRI BANJAR DI TANAH DAYAK  (PUTRI MAYANG SARI BINTI SULTAN SURIANSYAH )

Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banjar itu, memang agak tersembunyi di balik rimbunan pohon karet yang tumbuh subur. Kalau kita bepergian dari Banjarmasin ke Tamiang Layang dan melintasi Desa Jaar, bangunan itu tidak tampak dari jalan raya. Sebuah bangunan sekolah dasar akan menghalangi pandangan kita. Menurut tetuha adat di Desa Jaar, di dalam bangunan berbentuk rumah adat Banjar itu terdapat pusara Putri Mayang Sari. Ia adalah putri Sultan Banjar yang pernah menjadi pemimpin di Tanah Dayak Ma'anyan. Karena itu bagi orang Dayak  Maanyan, bangunan unik itu mempunyai arti dan makna tersendiri.

 Tulisan ini bertujuan memaparkan hubungan antara Urang Banjar dan Urang Ma'anyan yang bersumber dari tradisi lisan. Dalam mengumpulkan data untuk bahan tulisan ini, saya (Pdt. DR. Marko Mahin, MA.) dibantu Pdt.Hadi Saputra Miter, S.Th putra Dayak Ma'anyan asal Tamiang Layang, alumnus STT-GKE Banjarmasin.

Putri Mayang Sari Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma'anyan, Mayang Sari yang adalah putri Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya, Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi (Martapura) pada 13 Juni 1858, yang dalam penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan Kasawalas Paras Kajang Mamma'i. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi lisan orang Dayak Ma'anyan adalah perempuan Ma'anyan cucu dari Labai Lamiah, tokoh mubaligh Suku Dayak Ma'anyan. 

Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin dari tanah Ma'anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin'nyan yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya, Sultan Suriansyah terkena denda Adat Bali, yaitu selain membayar sejumlah barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.

Setelah Uria Mapas meninggal dunia, penduduk setempat mengangkat Putri Mayang  Sari untuk memimpin daerah Sangarasi yang sekarang bernama Ja'ar --lima kilometer dari Tamiang Layang. Kepemimpinan Mayang Sari sangat diakui masyarakat setempat, karena selain putri dari seorang Sultan Banjar, ia adalah saudara angkat Uria Mapas Negara. Dalam tradisi Dayak Ma'anyan, Putri Mayang Sari dicitrakan sebagai perempuan berambut panjang dan berparas cantik. Namun bukan hanya kecantikan yang mempesona dimilikinya, tetapi kemampuan menyejahterakan rakyat di wilayah yang dipimpinnya. Dituturkan, pada masa hidupnya Putri Mayang Sari tidak pernah diam. Ia rajin mengadakan kunjungan ke desa untuk mengetahui kehidupan rakyat yang sebenarnya, dan secara khusus untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan masyarakat. Ia selalu mengawasi bagaimana hasil panen masyarakat. Untuk meningkatkan hasil panen, Putri Mayang Sari menganjurkan agar penduduk menanam padi di daerah berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di daerah kering (tegalan).

Rute kunjungan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah melewati daerah Timur yakni Uwei, Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah Barat yaitu Tangkan, Serabun, Beto, Dayu, Patai, Harara dan kembali ke Jaar Sangarasi. Menurut kepercayaan orang Dayak Ma'anyan, daerah atau wilayah yang dikunjungi atau dilewati Putri Mayang Sari itu selalu mendapat berkah-keberuntungan, misalnya pohon buah berbuah lebat. Konon, buah langsat di daerah Tanjung yang terkenal manis dan disenangi banyak orang adalah karena daerah Tanjung adalah tempat singgah Putri Mayang Sari.

Kendati beragama Islam, dalam menjalankan pemerintahannya Putri Mayang Sari menggunakan sistem mantir epat pangulu isa yaitu sistem pemerintahan tradisional Dayak Ma'anyan. Dalam pola kepemimpinan ini, satu wilayah ditangani empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir mengurus masalah pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum Adat. Dalam pemerintahannya memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya kebutuhan pangan rakyat dan tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma'anyan adalah tata aturan kehidupan.


Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober 1615 atau dalam penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan Katiga Paras Kajang Minau, Putri Mayang sari wafat. Karena kecintaan rakyat kepadanya, jasadnya tidak langsung dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah hingga kering. Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke dalam tempayan, jasad Putri Mayang dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat mendapat kesempatan memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah meninggal dunia. Akhirnya, jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi yaitu wilayah Jaar sekarang. 

Urang Banjar dan Ma'anyan Tradisi lisan orang Dayak Ma'anyan memang banyak bertutur tentang relasi antara Urang Banjar dan Urang Ma'anyan. Misalnya dituturkan, orang Ma'anyan pada mulanya adalah penghuni Kayu Tangi. Karena itu, orang Ma'anyan, dalam bahasa ritual wadian, menyebut dirinya sebagai anak nanyu hengka Kayu Tangi. Hal itu untuk menunjukkan, sebelum hidup terserak di beberapa wilayah sekarang, mereka tinggal di Kayu Tangi, yaitu wilayah yang sekarang berkembang menjadi Kota Banjarmasin.

Dalam Sejarah Banjar (2003: 36-7) dituliskan, sebelum berdirinya Kesultanan Banjarmasin pada 1526, bahkan sebelum adanya Negara Dipa dan Negara Daha sebagai cikal-bakal Kesultanan Banjarmasin, berdiri satu negara etnik orang Ma'anyan yang bernama Nansarunai. Karena kuatnya usak jawa atau Jawa yang merusak yaitu gempuran dari Majapahit, mereka harus pergi dari Nansarunai.

Juga dituturkan tentang seorang tokoh bernama Labai Lamiah. Konon, ia adalah orang Dayak Ma'anyan pertama yang menjadi muallaf dan mubaligh. Ia berdakwah di wilayah Nagara yang masyarakatnya pada waktu itu adalah campuran antara suku Dayak Ma'anyan dan mantan prajurit Majapahit yang masih memeluk agama Hindu Syiwa. Labai Lamiah berhasil mengislamkan orang-orang Ma'anyan yang ada di Banua Lawas atau sekarang disebut Pasar Arba, tidak jauh dari Kalua. Akibatnya, Balai Adat orang Ma'anyan di tempat itu berubah fungsi menjadi Masjid. Hingga sekarang, di halaman Masjid itu masih dapat ditemukan beberapa guci yang menjadi simbol keberadaan orang Ma'anyan.

Orang Dayak Ma'anyan yang memeluk Islam disebut jari hakey. Pada awalnya, sebutan hakey ditujukan kepada utusan Raja Banjar yang hadir dalam Ijambe (upacara kematian). Ketika mereka dengan sopan menolak memakan daging babi yang dihidangkan dan menjelaskan alasannya, orang Ma'anyan berkata: "O ... hakahiye sa" (o ... begitukah). Berdasarkan ucapan itu, semua orang Banjar, muslim dan orang Dayak Ma'anyan yang beragama Islam disebut hakey. Adanya kaum yang bahakey membuat orang Ma'anyan tidak lagi satu warna. Mereka yang bertahan dengan adat, pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar mencari tempat baru. Dipimpin Uria Napulangit, mereka pergi ke dan menetap di tepi Sungai Siong di sebelah Barat Daya Tamiang Layang sekarang.

Namun rasa persaudaraan mereka dengan kerabat yang bahakey tetap terjalin. Hal itu tampak dengan dibangunnya Balai Adat yang dikhususkan untuk muslim, yang mereka sebut Balai Hakey. Bangunan ini dapat dilihat dalam upacara besar Dayak Ma'anyan seperti Ijambe (upacara pembakaran mayat), khususnya di masyarakat Paju Epat (nama wilayah empat kampung besar). Di Balai itu, masakan yang disajikan harus disembelih secara Islam oleh perwakilan yang beragama Islam.Hingga kini, Balai Hakey tetap didirikan oleh orang Dayak Ma'anyan setiap kali ada Ijambe. Balai yang kokoh, sekokoh sikap toleransi orang Ma'anyan.

Perekat Sosial Hikmat atau kearifan memang ada di mana-mana. Ia berseru di pinggir jalan memanggil orang untuk menghampirinya, demikian kata Penulis Amsal. Ia ada di mana saja termasuk di dalam tradisi lisan. Bagi masyarakat yang belum mengenal budaya tulis-menulis, tradisi lisan merupakan sarana untuk menyimpan sejarah silam kehidupan suku. Lebih dari itu, tradisi lisan juga sarana untuk menguraikan jati diri. Karena itu, dalam upacara penting misalnya Ijambe, tradisi lisan selalu dituturkan.

 Paparan di atas memperlihatkan betapa dahsyatnya Urang Ma'anyan menguraikan jati dirinya ketika berhadapan dengan Urang Banjar. Tentu saja, hal itu dilakukan karena Banjar tidak sekadar identitas suku, tetapi juga identitas politik, sosial, ekonomi dan agama. Banjar sebagai identitas agama tampak dalam adagium 'Banjar berarti Islam dan Islam berarti Banjar'.

Namun bagi orang Ma'anyan, adagium bersosok dingin itu tidak harus dikontestasikan. Tidak perlu jalan merah yang sarat amarah, apalagi pertumpahan darah. Bagi mereka, Banjar adalah hakey yaitu saudara mereka yang memeluk agama Islam. Tradisi lisan telah menjadi referensi kultural mereka untuk bersikap ramah kepada siapa pun, kendati berbeda agama dan keyakinan. Juga menjadi rujukan politik, ketika menerima seseorang yang tidak seagama dengan mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Tradisi lisan telah menjadi sumber kearifan untuk merekatkan persaudaraan dan kekerabatan.

Tradisi lisan memang seumpama teks Kitab Suci, punya daya paksa yang tinggi namun cara kerjanya sangat halus sehingga tidak terasa sama sekali. Hal ini tampak dari berdirinya bangunan rumah adat Banjar yang adalah makam Putri Mayang Sari di Desa Jaar, Tamiang Layang, Kalteng. Mereka mendirikan bangunan itu berdasarkan tradisi lisan Putri Banjar di Tanah Ma'anyan. Lebih jauh lagi, tempat pemakaman Putri Mayang Sari itu baru saja dipugar oleh Pemkab Barito Timur. Ini petanda, sekarang pun beliau masih dihormati masyarakat setempat.

Secara fisik, bangunan itu adalah makam Putri Mayang Sari. Namun secara metafisik, bangunan itu adalah terusan batin persaudaraan yang menghubungkan Urang Dayak Ma'anyan dengan Urang Banjar. Juga menjadi media budaya dan sumber sejarah, di mana mereka dapat merunut benang merah kekerabatan dengan orang Banjar dan kemudian berkata: "Kalian bukan orang lain."

 Sumber tulisan diambil dari catatan Sdr. Hady S. M, S.Th.

Muara Batanjung Perlu Pengerukan


Stylo

Superb